Dari sebuah tanaman kini menjadi sentra nanas seluas 686 ha.
Jalan setapak beraspal yang lebarnya hanya 2 m itu menuju ke arah bukit. Di kanan dan kiri jalan tampak hamparan tanaman nanas Ananas comosus. Saking banyaknya populasi nanas, hampir tak sedikit pun permukaan tanah yang terlihat karena terhalang tajuk tanaman anggota famili Bromeliaceae itu. Itulah panorama di Desa Beluk, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah, 40 kilometer dari ibukota kabupaten. Nanas itu tumbuh di bawah naungan pohon sengon. Pada beberapa tanaman nanas tampak menyembul buah di sela-sela daun. Sebagian besar buah masih muda.
Di lahan milik Salid, terhampar tanaman siap panen sekitar 4 hari lagi. Warna buah mulai terlihat semburat kuning. Ukuran nanas tergolong mungil dengan tinggi dari pangkal buah hingga pangkal mahkota hanya sekitar 10 cm. Salid lalu memotong pangkal buah salah satu tanaman, lalu mengupasnya. Begitu dicicip rasanya manis menyegarkan. Pada refraktrometer atau alat pengukur tingkat kemanisan tertera angka 17,8o briks. Itu jauh lebih manis ketimbang nanas biasa yang hanya 8—11o briks.
“Oleh karena itu nanas itu di Pemalang kerap disebut nanas madu,” kata penyuluh Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Belik, Sri Harsono. Yang istimewa, menyantap nanas itu tidak meninggalkan rasa gatal di mulut meski buah baru dipanen dan tanpa dicuci air garam. Menurut kepala seksi Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pemalang, Muslam Wahadi, nanas madu yang dibudidayakan di Pemalang itu sebetulnya berasal dari Bogor, Provinsi Jawa Barat. “Seorang tokoh masyarakat membawa nanas itu dari Bogor pada 1955,” kata Muslam.
Queen
Menurut kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) Institut Pertanian Bogor, Sobir PhD, jika nanas itu dari Bogor, maka kemungkinan itu adalah nanas jenis queen berukuran kecil yang rasanya memang manis. Sang tokoh itu lalu menanam mahkotanya di pekarangan rumah. Karena buahnya berasa manis, maka semakin banyak warga sekitar yang tertarik untuk menanam. Sri Harsono menuturkan penanaman nanas madu itu mulai meluas pada 1982. “Ketika itu ada program agroforestri untuk memanfaatkan lahan di kawasan hutan,” ujarnya.
Di Kecamatan Belik penanaman nanas memanfaatkan lahan di bawah naungan sengon. “Di kecamatan lain ada yang menanam nanas di bawah naungan cengkih,” katanya. Budidaya nanas menarik minat pekebun lantaran memberi keuntungan ekonomi relatif tinggi. Salid, contohnya, tertarik mengebunkan nanas karena lebih menguntungkan ketimbang menanam padi. Sebelumnya pria kelahiran 1961 itu menanam padi tadah hujan di lahan 5.000 m2.
Karena dibudidayakan secara tadah hujan, maka produktivitas padi rendah, hanya 3 ton. Dari lahan seluas itu ia hanya memperoleh pendapatan Rp6-juta per musim tanam selama 4 bulan. Setelah dikurangi biaya produksi Rp3-juta, ia hanya memperoleh laba Rp3-juta. Dalam setahun ia dua kali menanam padi sehingga total laba Rp6-juta per tahun. Sementara dari lahan sama, ia memperoleh pendapatan Rp20-juta dari budidaya nanas.
Organik
Karena mengebunkan nanas lebih menguntungkan, ia pun mampu mengebunkan hingga 1,5 ha. Dari luasan itu ia memanen 20.000 buah nanas per ha. Dari jumlah panen itu 75% di antaranya tergolong grade A: berbobot 700—800 g per buah. Harga jualnya mencapai Rp2.300—Rp2.500 per buah. Sisanya grade B—bobot buah 500—690 g per buah—dengan harga jual Rp1.500 per buah.
Total jenderal pendapatan rata-rata Salid Rp40-juta per ha per sekali panen dalam 12 bulan. Sementara biaya produksi menanam nanas Rp20-juta pada saat awal tanam. Biaya produksi saat awal tanam cukup mahal karena Salid harus mengeluarkan biaya untuk pembelian bibit. “Harga bibit Rp150 per anakan,” ujar salah satu anggota Kelompok Tani Sumber Nanas itu. Dalam
1 ha membutuhkan 20.000 bibit. Selanjutnya Salid hanya mengeluarkan biaya Rp2-juta—Rp3-juta per ha per tahun. Biaya perawatan lanjutan lebih murah karena Salid hanya merawat anakan baru yang muncul.
Salid juga membudidayakan nanas secara organik. Sebagai sumber nutrisi ia hanya mengandalkan pupuk kandang dan daun nanas hasil rompesan. Kebutuhan pupuk kandang hanya 15 ton per ha yang diberikan 2 kali setahun. Untuk merangsang berbuah ia meneteskan 50 ml larutan etilen per tanaman berumur 10 bulan pascatanam bila penanaman baru. Selanjutnya anakan bisa ditetesi etilan pada umur 6 bulan sejak muncul anakan.
Tanaman biasanya mulai berbunga 2—4 pekan setelah perlakuan dan 6 bulan kemudian panen. Salid panen perdana nanas saat tanaman berumur 20 bulan setelah tanam dengan bibit asal anakan. Setelah itu ia panen nanas setiap 12 bulan dari anakan baru yang tumbuh dari tanaman yang sudah panen. Begitu seterusnya. “Dalam satu rumpun bisa tumbuh hingga 10—15 tanaman,” kata Salid.
Terus bertambah
Karena dianggap lebih menguntungkan, maka jumlah pekebun nanas di Kabupaten Pemalang terus bertambah. Hingga kini jumlah pekebun sekitar 300 orang dengan total area tanam nanas mencapai 686 ha yang tersebar di 3 kecamatan: Belik, Moga, dan Pulosari. “Yang terluas di Kecamatan Belik,” ujar Muslam. Dari luas areal tanam itu jumlah produksi nanas madu mencapai 6.880 ton per tahun.
Karena rasa buahnya yang manis, nanas madu asal Pemalang pun kini mulai sohor di tanahair. Permintaan pasar mengalir dari beberapa pasar swalayan besar di Jakarta dan Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, untuk nanas grade A. Sementara grade B dijual ke pasar tradisional di Cirebon. “Saat ini bahkan ada permintaan dari Arab Saudi mencapai 10.000 buah per sekali kirim. Tapi belum berjalan karena belum ada kesepakatan harga,” ujar Sri Harsono.
Untuk mempermudah akses ke kebun saat panen, pemerintah Kabupaten Pemalang membangun jalan aspal yang menghubungkan jalan raya ke area kebun sepanjang 2 km. “Dahulu untuk mengangkut hasil panen harus dipikul dari kebun ke jalan raya,” ujar Sri Harsono. Sekali pikul 50—60 buah. Jika panen 3.000 buah perlu tenaga angkut 5 orang dalam sehari. “Sekarang bisa menggunakan sepeda motor untuk mengangkut hasil panen,” katanya. (Imam Wiguna/Peliput: Kartika Restu Susilo)